AJI: Peraturan Menkominfo 32/2013 Tidak Pro-Rakyat

LG LCD TV LH50, TV digital pertama di Indonesia
Sumber :
  • lge.com
VIVAnews
The Titans Pecat Sang Vokalis, Rezcky Purba
- Aliansi Jurnalis Independen memasalahkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial. Menurut AJI, peraturan ini tidak mendukung demokratisasi penyiaran.

Bobby Nasution Bilang Ada Partai Berikan Tugas ke Dia Maju di Pilgub Sumatera Utara

Peraturan ini memang mengarahkan satu kanal frekuensi dapat digunakan oleh enam hingga 12 saluran program siaran. Sedangkan dalam teknologi analog, satu kanal hanya bisa digunakan oleh satu stasiun penyiaran. Setelah pemberlakuan teknologi digital, diperkirakan ada sekitar 1.000 kanal televisi dengan kualitas gambar dan suara lebih baik dibanding teknologi analog.
Viral Kisah Pengantin Perempuan di Purwakarta Diberi Mahar Emas Palsu oleh Oknum Polisi


Namun, menurut AJI, perubahan ke digital ini hanya melanjutkan sistem penyiaran (digital) yang monopolistis, oligarkis, Jakarta sentris, dan jauh dari kepentingan rakyat Indonesia secara umum. Peraturan tersebut pada intinya: (1) Membagi industri penyiaran menjadi dua, yakni penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital), dan penyelenggara isi siaran (content provider) ; (2) Membagi wilayah Indonesia dalam zona-zona siaran dan menyerahkan pengisian zona tersebut kepada pihak swasta dengan jaminan pemerintah (penyelenggara multipleksing); dan (3) Semua lembaga penyiaran (swasta) yang telah memperoleh izin di analog, otomatis mendapat izin siaran digital, meskipun tidak semua lembaga penyiaran (swasta) dapat menjadi penyelenggara multipleksing.


"Dengan aturan tersebut, semua kanal digital yang jumlahnya banyak itu dapat diberikan pemerintah kepada pemodal yang kuat atau pemenang tender, tanpa ada perlindungan yang proposional untuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Lokal (LPL), Lembaga Penyiaran Berjaringan (LBJ), maupun Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK)," kata Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Maryadi, dalam siaran persnya, Jumat 28 Februari 2014.


Terbukti kemudian, bahwa yang memenangi tender dan memiliki kanal TV digital akhirnya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang selama ini mendominasi sistem penyiaran analog, dengan segala problematika dan perilakunya yang mengecewakan publik. Yang terparah, Permen Kominfo Nomor 22/2011 tidak memiliki dasar hukum dalam Undang Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Apalagi, UU Penyiaran belum meletakkan dasar norma bagi diselenggarakannya siaran digital, sehingga pemain TV digital tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk beroperasi.

 

Terbukti kemudian, pada 2013, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Permen Kominfo Nomor 22/2011 karena tidak memiliki dasar yuridis dan sandaran Undang Undang yang berlaku. Putusan MA juga membatalkan klausul switch-off tahun 2018, dan menganggap pembagian pemain penyelenggara multipleksing dan lembaga penyiaran tidak berlaku karena tidak memiliki dasar hukum.

 

Namun, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melihat, putusan Mahkamah Agung tersebut dijawab Kementerian Kominfo dengan menerbitkan aturan baru, yakni Permen Kominfo 32/2013 yang secara substansi sama, dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yang tidak terdapat dalam UU Penyiaran. Kemenkominfo juga menganggap putusan MA tidak berlaku surut, sehingga hasil-hasil tender di lima zona yang telah dikuasai pihak swasta nasional, tetap diakui dan dilanjutkan.

 

AJI mempertanyakan pandangan non-retroaktif atau tidak berlaku surut dari Kominfo, sekaligus mendukung putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Permen tersebut. "Bagaimana mungkin sebuah aturan (Permen Kominfo Nomor 22/2011) yang tidak punya basis hukum dan telah dibatalkan MA justru diteruskan (Permen Kominfo Nomor 32/2013) implementasinya di lapangan?" ujar Eko Maryadi, Ketua Umum AJI.

 

Koordinator Divisi Penyiaran AJI Indonesia, Dandhy Dwi Laksono, bahkan menilai Menteri Kominfo Tifatul Sembiring melakukan blunder politik yang bisa menjatuhkan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata publik. AJI melihat, revisi UU Penyiaran yang mestinya bisa menjadi payung hukum dalam mengatur tata cara migrasi siaran analog ke digital, belum tuntas dan tidak diberikan prioritas.

 

"Pemerintah terlihat tidak sungguh-sungguh merespons hak inisiatif DPR yang telah menyusun Rancangan UU Penyiaran yang lebih tegas dan demokratis dalam menjamin keberagaman isi siaran dan keberagaman kepemilikan lembaga siaran," kata Dandhy.


Karena itu, AJI menyatakan tegas menolak Permenkominfo 32/2013 karena secara substansi sama dengan Permenkominfo yang sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung. Kemudian AJI berpendapat migrasi dari siaran televisi analog ke digital seharusnya menjadi program prioritas pemerintah (antar departemen) dan Komisi I DPR.


Migrasi ke digital ini, menurut AJI, sebaiknya diatur oleh sebuah undang-undang. Oleh karena itu, AJI mendorong pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi UU Penyiaran, karena selain perlu mengatur tentang tata kelola siaran televisi digital, amandemen juga diperlukan untuk mempertegas mandat pentingnya keberagaman isi dan kepemilikan, serta memperkuat lembaga pengawasan dan perlindungan bagi publik.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya